Selasa, 31 Agustus 2010

Sistem Pendidikan Nasional

    Tatanan system pendidikan nasional merupakan suatu hal yang sangat penting bagi keberlanjutan generasi bangsa yang maju dan berkualitas, karena hakekat dari pendidikan adalah untuk menciptakan “ tenaga-tenaga produktif ” sehingga mampu mengaplikasikan disiplin ilmunya guna kepentingan rakyat dan tentunya mempunyai orientasi yang jauh lebih maju ketimbang sekedar untuk bekerja dan menjadi skrup-skrup kapitalisme. Desakan imperialisme untuk selalu meliberalisasikan system pendidikan nasional di Indonesia sudah sangat nyata dan sudah mencapai fase yang cukup akut, sehingga tak ayal lagi kalau mayoritas anak negeri ini tidak sanggup mengenyam pendidikan. Beragamnya persoalan disektor pendidikan yang semakin menjadi beban rakyat tidak lepas dari peranan Rezim Boneka Imperialis yang berkuasa di Republik ini, kebijakan demi kebijakan yang dilahirkan disektor pendidikan sejak rezim dictator otoriter orde baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto sampai dengan Rezim SBY-JK tetap saja mempunyai satu perspektif sama yang selalu berselingkuh dengan kepentingan Imperialisme.
     Karakter ketetertundukan terhadap imperialisme sudah sangat jelas tercermin dalam tindakan Pemerintah Indonesia, karena Indonesia sendiri salah satu negara yang antusias menyambut liberalisasi perdagangan jasa pendidikan Dalam pertemuan di Jenewa, Desember 2004, Indonesia telah melakukan initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO lainnya. Ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan.
     Pendidikan yang sangat mahal, kurikulum yang tidak mencerdaskan, situasi sekolah maupun kampus yang tidak demokratis (terutama pemberangusan hak-hak Mahasiswa di kampus), maupun fasilitas yang ala kadarnya adalah fenomena sehari-hari yang tergambar dari system pendidikan nasional di Indonesia. Ketika berbicara tentang dunia pendidikan tentunya tidak lepas dari tingkat kualitas, persoalan biaya, regulasi-regulasi, anggaran yang semuanya itu adalah menjadi tanggung jawab negara. Perkembangan kesadaran masyarakat hari ini semakin terilusi oleh praktek-praktek kapitalisasi, libiralisasi dan komersiliasasi pendidikan sehingga memunculkan perspektif bahwa pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mahal, itulah kekeliruan berpikir masyarakat kita yang harus segera di benahi. Memang kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya namun kita harus menuntut hak kita kepada negara untuk bertanggung jawab !, Alhasil yang terjadi, pendidikan dikelola layaknya perusahaan yang semata-mata hanya mengejar keuntungan dan tentunya hal ini hanya ditujukan bagi orang-orang yang mempunyai modal. Padahal
Dalam konstitusi negara kita atau UUD 1945 tepatnya pada alenia keempat tentang tujuan nasional telah jelas dan sangat terang disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya”

Kebijakan Rezim Boneka Imperialis di Sektor Pendidikan

    Rezim Boneka Imperialis yang berkuasa di Republik ini selalu memposisikan dirinya sebagai regulator atas kepentingan imperialisme yang kemudian mendapatkan legalitas atas segala Undang-Undang sebagai instrument penting dalam konteks penjajahan baru saat ini. Bermacam peraturan dan Undang-Undang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR-RI terutama regulasi yang menyangkut kepentingan bisnis sektor jasa pendidikan di Indonesia. Maraknya Undang-Undang, maupun yang masih bersifat rancangan telah tersaji didepan mata sehingga semakin membuat ruwet persoalan didunia pendidikan nasional kita semisal; PP.60 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi, PP. 61 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN, PP No 151 tahun 2000, PP No 152 Tahun 2000, PP No 153 Tahun 2000, PP 154 tahun 2000, PP No 06 tahun 2004 yang semuanya menjadi legalitas dari pem-BHMN-an UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UPI, SK Dirjend Dikti No.26 Th 2002 Tentang Pelarangan Ormass dan Parpol di kampus yang juga dijadikan dasar untuk melarang aktifitas ormass mahasiswa di kampus, UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, Sangat jelas Undang-Undang Sisdiknas justru hendak menggerakkan pendidikan nasional kita pada arah liberalisasi, Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa "masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Persoalan di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), "setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".

      Ketika pemerintah tidak sanggup merealisasikan subsidi pendidikan sebesar 20 %, berarti pemerintah telah mengkhianati konstitusi. Dalam APBN 2007 misalnya, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 10,9 %. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (utang) yang pada kuartal ketiga tahun 2006 sudah mencapai sebesar 128,369 miliar dollar AS yang terdiri dari utang luar negeri mencapai 77,347 miliar dollar AS dan utang swasta 51, 022 miliar dallar AS, Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN-P 2006 mencapai 2,510 miliar dollar AS atau 30 % dari total pengeluaran pemerintah. Kenyataan inilah yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan gratis semakin terpinggirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bagaimana pendapat tentang anda tentang postingan saya?